Selasa, 24 September 2013

Cinta Bangku Belakang


  Kami berdiri seperti orang bodoh di situ. Hujan yang tak mampu diprediksi datang semaunya sendiri. Derasnya tak tanggung-tanggung, pemandangan di depan mataku hanya genangan air, selebihnya sampah-sampah plastik mengalir di atas permukaannya. Bau tanah basah sudah menyentuh hidung sejak tadi, betapa aku jatuh cinta pada aroma yang mengesankan ini.
Udara dingin telah menusuk tulang, sampai aku muak dan kesal sendiri. Langkahku terkunci dengan seseorang yang berada di sampingku. Aku mengenalnya, teman sekelas, tapi aku tak tahu namanya. Bagiku, dia belum menjadi seseorang yang spesial, maka aku tak perlu mengingat detail kehidupannya. Dalam suasana menyebalkan seperti ini, apa yang harus kulakukan? Kami berdua dan tak saling membuka suara, hanya lirih... aku bosan.
Aku sibuk mendengar bisikan hujan, seseorang di sampingku sibuk berdialog dengan perasaannya sendiri. Kami diam, masih bertahan untuk tak saling bicara.
“Udah sore ya, kalau kayak gini bisa sampai malam.” ucapnya tenang, mulai berani mengajakku bicara.
Kalau boleh kubocorkan satu rahasia, ini kali pertama kami berbicara. Permulaan yang aneh memang, tapi siapa yang tahu? Segalanya di mulai dari sini, kami yang tak pernah saling peduli tiba-tiba menciptakan percakapan basa-basi. Aku tak langsung menjawabnya, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara beberapa lama.
“Kedinginan?”
Aku mengangguk pelan. Masih tak ingin membuka suara. Memang dingin sekali. Kedua tanganku melingkar di depan dada, aku berusaha keras menghangatkan tubuhku sendiri.
Dengan gerakan tergesa-gesa, ia membuka jaket yang sejak tadi melekat di tubuhnya, kemudian meletakkan jaket itu di kedua bahuku. “Pakailah... kamu lebih butuh.”
Bibirku kelu. Aku tak dapat bergerak. Salah tingkah. Berani-beraninya dia membuat aku berada dalam keadaan serba salah seperti ini. Aku juga tak paham dengan perubahan emosiku. Aku senang, tapi malu, dan ada gejolak lain yang membentuk gugusan warna-warni dalam hatiku. Jaket yang berada di bahu kurapatkan dengan tubuhku. Hangat.
“Kenapa kamu banyak diam? Di kelas, kamu ribut, sering bertanya dengan dosen.” sambutnya lugu, diikuti dengan suaranya yang terdengar manis di telingaku.
“Ribut? Itu aktif, bukan ribut. Mohon bedakan.” sergahku panas, aku menyalak.
“Iya, kamu aktif.” jawabnya pasrah, aku merasa menjadi pemegang situasi. “Tapi, kalau bersama seseorang, kamu banyak diam. Ada sesuatu yang aneh.”
“Sungguh?” aku menatap matanya, tepat di sampingku. “Aneh dibagian mananya?”
“Perlu kujelaskan?” ia langsung bertanya dengan cepat, kemudian mendekatkan wajahnya, memandangku dengan tatapan hangat.
Dipandang seperti itu, aku merasa seperti disirami vermouth dan gin. Pria di sampingku benar-benar memabukan, tatapannya sungguh berbeda dengan pria-pria lainnya. Dan, dia benar-benar mengunci perhatianku.
“Tuh ‘kan, kamu diam lagi.”
“Aku sedang berpikir.”
“Apa yang kaupikirkan dalam suasana sedingin ini?”
“Tidak tahu, matahari makin hilang, langit makin menggelap.”
“Kamu tak menjawab.”
“Memang tadi kamu bertanya apa?”
“Mengapa kaubanyak diam?”
“Karena aku tak mengenalmu.”
“Tapi, kita sekelas.”
“Dalam tempat dan waktu yang samapun, dua orang memang saling bertemu, tapi mereka tak dipaksa untuk saling berkenalan.”
“Jelas saja kautak mengenalku, aku duduk di bangku belakang.”
“Cerdas, sekarang kamu tahu dan mulai paham.”
“Kita terpisah....”
“Hanya beberapa meter, kamu duduk di belakang, beberapa meter dari bangku depan... tempat aku duduk.”
Jawaban terakhirku mendiamkan percakapan kita beberapa detik. Aku dan dia sibuk berdialog dengan perasaan kami masing-masing. Jujur, pria ini memang manis. Aku tertarik untuk memerhatikannya sejak beberapa hari yang lalu. Awalnya, aku menganggap dia aneh. Penampilannya memang acak-acakan, padahal kalau ia mau berdandan sedikit, ia pasti sudah dikejar-kejar wanita yang terkagum-kagum pada sosoknya yang misterius namun kadang banyak omong. Berhubung ia duduk di bangku paling belakang, perhatianku terhalang oleh jarak kita beberapa meter. Di kelas, kami berjauhan, sungguh jauh, sampai tak saling mengenal. Makanya, tadi kubilang juga apa, kalimat pertama adalah percakapan perdana kami. Harusnya disertai dengan kembang api dan petasan lebaran, tapi, ah... tak perlu, pria ini tidak spesial.
“Pernah berpikir tidak, datangnya hujan dari mana?” ia mulai berani mengawali percakapan.
“Dari air mata yang enggan diturunkan, karena terlalu banyak jumlahnya, makanya deras.” jawabku sekenanya.
“Ngasal saja!”
“Loh, emangnya salah?”
“Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, tergantung persepsi.”
“Lihatlah, kamu sibuk berfilosofi!”
“Itu pendapatku, Sera.”
Aku terdiam untuk beberapa detik. “Kamu tahu namaku?”
“Siapa yang tidak kenal orang seaktif kamu?”
“Tapi, aku tak mengenalmu.”
“Jelas saja, kauhanya mengenal yang ada dalam duniamu, dan aku adalah dunia yang berbeda.”
Mendengar jawabannya yang agak sinis, aku memukul lembut bahunya. “Aku tak tahu kalau pembicaraan kita bisa semenyenangkan ini.”
“Aku juga tak tahu, bisa melewati sore dengan hujan sederas ini, sedingin ini, bersama seseorang yang menyenangkan seperti kamu.”
“Lihatlah, kaumelucu!”
“Kalau begitu, tertawalah, Sera.”
Bibirku terkunci, aku tidak tertawa. Ah, memang tak terlalu lucu, untuk apa aku tertawa. “Banyak tugas, bagaimana aku bisa pulang?”
“Apa di otakmu hanya berisi tugas, tugas, dan tugas?”
“Otak punya kemampuan untuk menyaring hal yang penting, tugas termasuk hal penting.”
“Banyak hal penting di dunia ini, tapi luput dari pandanganmu.”
Aku mengela napas berat. “Namamu sepertinya juga penting, bolehkah aku tahu?”
“Apalah arti sebuah nama, jika yang diingat banyak orang hanyalah tindakan yang dilakukan, bukan nama yang melakukan?”
“Nama itu penting, kalau berkesan juga akan diingat. Makanya, aku tak ingat namamu, karena kamu belum berkesan.”
“Aku belum berkesan?” tatapannya mendelik ke arahku.
Aku tak menjawab, saat pertanyaan itu selesai dia ucapkan. Aku juga tak bergerak, ketika wajahnya tiba-tiba mendekati wajahku. Aku tidak mendorongnya juga tak menghempaskan tubuhnya, ketika ia memegang lembut daguku kemudian menciumku.
Tubuhku dan tubuhnya rapat sekali, sampai aku tak bisa membedakan sedang berada di mana aku sekarang.
Deg.
Dunia nyata dan dunia mimpi seperti berebut tempat di otakku.

*Aku selalu datang paling pagi, mengincar bangku depan, aku tak ingin ketinggalan pelajaran yang menggiurkan. Aku duduk sendirian, kelas masih sepi, mungkin teman-temanku masih sibuk dalam dunia mimpi. Aku membuka buku pelajaran, membolak-balik setiap halaman. Terlalu rajin.
Tatapanku menyentuh jendela. Mendung. Sayang sekali kalau sampai hujan, hujan membuat setiap orang merasa ngantuk, berbeda situasi jika ada seseorang yang dipeluk. Tapi, siapa yang mau berpelukan di tengah pelajaran? Aku yakin teman-temanku masih waras, aku pun juga begitu.
Heran sudah jam segini, yang datang hanya segelitir orang, dihitung dengan jaripun masih bisa. Kemana teman-temanku? Jadi, mendung tak tahan untuk menangis, manja sekali. Hujan.
Kelas sepi, banyak yang datang terlambat. Pengajar sudah masuk yang lainnya masih tergopoh-gopoh dengan baju yang kebasahan, kehujanan. Pria itu, yang kutunggu-tunggu, juga datang terlmbat. Seperti biasanya, ia duduk di bangku belakang.
Mata kami tadi sempat bertemu, hanya beberapa detik, lalu saling melepaskan. Seakan-akan tak terjadi apa-apa kemarin sore. Seakan-akan tak ada peristiwa penting yang terjadi saat hujan kemarin. Apakah semua pria seperti itu? Selalu mudah lupa dan mudah menganggap segalanya tak penting?
Aku menghela napas, seharusnya dia memang tak penting, dan aku juga tak perlu memikirkannya. Tapi, sejak peristiwa kemarin, entah mengapa dia tak berhenti menghampiri otakku. Aku tak bisa melupakan tatapannya yang asing kala itu. Betapa manisnya dia saat memberikan jaketnya untuk menghangatkan tubuhku. Matanya, hidungnya, bibirnya, dan suara lembutnya berotasi dalam pikiranku.
Sialan! Keluhku kesal, dalam hati. Mengapa dia berbeda? Mengapa dia tak semanis kemarin? Mengapa dia tak sehangat dan seramah saat bersamaku... saat kita hanya berdua.
Pria yang kulihat saat ini, yang sedang diam-diam kuperhatikan, adalah pria yang berbeda, bukan pria manis yang mengejutkanku dengan sentuhan bibirnya. Sungguh berbeda, aku tak melihat sosok manis itu dalam dirinya saat ini. Mengapa segalanya berubah dalam hitungan jam?
Aku jadi tak bersemangat memerhatikan pengajar, juga tak bersemangat mencatat. Aku ingin jawaban dari semua rasa penasaranku. Pria itu... bahkan dia tak menatapku. Dan, aku? Hey, aku menemukan diriku yang berbeda, kali ini aku menyerongkan posisi dudukku, diam-diam menatap ke arah belakang, berharap wajah itu setidaknya menatapku dengan tatapannya yang polos dan lugu seperti kemarin.
Sekarang, aku juga berbeda. Aku semakin heran karena perhatianku tiba-tiba terenggut oleh sosok yang tak kukenal. Masih tentang pria itu, pria yang tak kukenal namanya. Aku bahkan tak peduli pada detak jam dinding, juga waktu yang bergulir cepat ketika aku menikmati wajahnya, memerhatikan belahan bibirnya yang kemarin sore kurasakan.
Sungguh, dia sangat memabukkan.
Kali ini, pandanganku menjalar menyentuh rambutnya yang hitam. Tak terlalu rapi memang, tapi bagiku potongan rambutnya membuat dia terlihat lebih tampan dan sederhana. Rahangnya menambah kesan angkuh; angkuh yang eksklusif. Ya, maksudku, dia nampak seperti pria yang sulit ditaklukan. Hidungnya yang tak terlalu mancung memang menambah kesan menyenangkan ketika ia mendesahkan napasnya pelan. Bibirnya, sudah kujelaskan, dan bisa merasakan bibirnya memang hal yang sangat mendebarkan, seperti kemarin sore.
Keindahan apa lagi yang belum kujelaskan tentang dirinya? Lehernya yang jenjang memang kadang ia sembunyikan. Dadanya yang bidang membuat semua wanita ingin bersandar hangat dalam peluknya. Oh, Tuhan, mahluk macam apa yang Kauizinkan untuk menggodaku kali ini?
Sudahlah, aku memutuskan untuk melepaskan pandanganku dari sosoknya. Toh, dia makin cuek, dia juga tak mau menatapku. Dia sudah menjadi mahluk paling berbeda meskipun baru puluhan jam yang lalu kami melewati waktu bersama.
Pengajar sudah meninggalkan kelas, aku merapikan bukuku di meja. Teman-temanku yang lain sudah lebih dulu keluar, ingin segera pulang dan bermalas-malasan. Udara dingin yang mencekam seperti ini memaksa mata selalu ingin terpejam, dan tubuh selalu rindu kasur.
Kelas sudah sepi, aku sudah siap meninggalkan kelas. Aku berdiri dari bangku yang kududuki, namun tubuhku terhempas lagi. Jemari yang tak begitu asing meremas bahuku; hingga aku kembali terduduk.
“Buru-buru ya, Sera?” sergah pria itu santai, kali ini ia duduk di sampingku. “Di luar hujan.”
“Oh, ya? Aku tidak peduli, aku ingin segera meninggalkan kelas ini.”
“Sera....”
“Apa?!”
“Kok sinis?”
“Mau yang manis? Romantis? Cih!”
“Lho, kamu marah?”
“Tidak.”
“Sungguh?”
“Bukan urusanmu! Sok misterius!”
“Kamu tidak tersenyum.”
“Aku hanya tersenyum pada orang yang menurutku penting.”
“Sejak peristiwa kemarin sore, aku belum juga jadi seseorang yang penting bagimu?”
Aku terdiam.
“Sera, kok diam?”
“Aku tidak paham dengan perlakuanmu tadi, kamu diam, tidak menatapku, tidak menyapaku, tidak melirik ke arahku... tidak sehangat kemarin.”
“Aku kira kamu marah.” jawab pria itu setengah berbisik, lengannya menyentuh lenganku. “Ketahuilah, Sera. Kadang, pria memang tak perlu menunjukkan perasaannya.”
“Semua pria gengsi. Gengsi gede-gedean!”
“Kamu berarti belum paham.”
“Apa yang harus kupahami? Aku sudah cukup lelah dengan pelajaran hari ini, aku tak ingin memenuhi otakku lagi dengan pemahaman-pemahaman aneh.”
“Kamu lelah karena pelajaran?”
“Tentu saja.”
“Padahal, selama pelajaran, kamu sibuk menatapku.”
Deg. Bibirku terkunci. Kelu.
“Tatapanmu yang tajam, mendelik, namun menggoda itu bisa kurasakan, Sera.”
“Jadi, kamu juga memerhatikanku?”
Ia mengangguk pelan.
“Lalu, kenapa tidak balas menatapku?”
“Tatapan tak harus dibalas dengan tatapan.”
Pria bersorot mata hangat itu mendekat, ketika tubuhnya bergerak cepat, aku tak bisa lagi mengelak.
Ia memelukku. Tak pernah aku merasa sehangat itu.
“Aku Ravinto. Mohon diingat. Pentingkan aku dalam ingatanmu.”
Aku mengangguk pelan. Sentuhannya tak pernah kuduga.
Dia berbeda.

0 komentar:

Posting Komentar