Kami berdiri seperti orang bodoh di situ. Hujan
yang tak mampu diprediksi datang semaunya sendiri. Derasnya tak
tanggung-tanggung, pemandangan di depan mataku hanya genangan air, selebihnya
sampah-sampah plastik mengalir di atas permukaannya. Bau tanah basah sudah
menyentuh hidung sejak tadi, betapa aku jatuh cinta pada aroma yang mengesankan
ini.
Udara dingin telah menusuk tulang, sampai aku muak dan kesal sendiri. Langkahku
terkunci dengan seseorang yang berada di sampingku. Aku mengenalnya, teman
sekelas, tapi aku tak tahu namanya. Bagiku, dia belum menjadi seseorang yang
spesial, maka aku tak perlu mengingat detail kehidupannya. Dalam suasana
menyebalkan seperti ini, apa yang harus kulakukan? Kami berdua dan tak saling
membuka suara, hanya lirih... aku bosan.
Aku sibuk mendengar bisikan hujan, seseorang di sampingku sibuk berdialog
dengan perasaannya sendiri. Kami diam, masih bertahan untuk tak saling bicara.
“Udah sore ya, kalau kayak gini bisa sampai malam.” ucapnya tenang, mulai
berani mengajakku bicara.
Kalau boleh kubocorkan satu rahasia, ini kali pertama kami berbicara. Permulaan
yang aneh memang, tapi siapa yang tahu? Segalanya di mulai dari sini, kami yang
tak pernah saling peduli tiba-tiba menciptakan percakapan basa-basi. Aku tak
langsung menjawabnya, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara beberapa
lama.
“Kedinginan?”
Aku mengangguk pelan. Masih tak ingin membuka suara. Memang dingin sekali.
Kedua tanganku melingkar di depan dada, aku berusaha keras menghangatkan
tubuhku sendiri.
Dengan gerakan tergesa-gesa, ia membuka jaket yang sejak tadi melekat di
tubuhnya, kemudian meletakkan jaket itu di kedua bahuku. “Pakailah... kamu
lebih butuh.”
Bibirku kelu. Aku tak dapat bergerak. Salah tingkah. Berani-beraninya dia
membuat aku berada dalam keadaan serba salah seperti ini. Aku juga tak paham
dengan perubahan emosiku. Aku senang, tapi malu, dan ada gejolak lain yang
membentuk gugusan warna-warni dalam hatiku. Jaket yang berada di bahu
kurapatkan dengan tubuhku. Hangat.
“Kenapa kamu banyak diam? Di kelas, kamu ribut, sering bertanya dengan dosen.”
sambutnya lugu, diikuti dengan suaranya yang terdengar manis di telingaku.
“Ribut? Itu aktif, bukan ribut. Mohon bedakan.” sergahku panas, aku menyalak.
“Iya, kamu aktif.” jawabnya pasrah, aku merasa menjadi pemegang situasi. “Tapi,
kalau bersama seseorang, kamu banyak diam. Ada sesuatu yang aneh.”
“Sungguh?” aku menatap matanya, tepat di sampingku. “Aneh dibagian mananya?”
“Perlu kujelaskan?” ia langsung bertanya dengan cepat, kemudian mendekatkan
wajahnya, memandangku dengan tatapan hangat.
Dipandang seperti itu, aku merasa seperti disirami vermouth dan gin. Pria di
sampingku benar-benar memabukan, tatapannya sungguh berbeda dengan pria-pria
lainnya. Dan, dia benar-benar mengunci perhatianku.
“Tuh ‘kan, kamu diam lagi.”
“Aku sedang berpikir.”
“Apa yang kaupikirkan dalam suasana sedingin ini?”
“Tidak tahu, matahari makin hilang, langit makin menggelap.”
“Kamu tak menjawab.”
“Memang tadi kamu bertanya apa?”
“Mengapa kaubanyak diam?”
“Karena aku tak mengenalmu.”
“Tapi, kita sekelas.”
“Dalam tempat dan waktu yang samapun, dua orang memang saling bertemu, tapi
mereka tak dipaksa untuk saling berkenalan.”
“Jelas saja kautak mengenalku, aku duduk di bangku belakang.”
“Cerdas, sekarang kamu tahu dan mulai paham.”
“Kita terpisah....”
“Hanya beberapa meter, kamu duduk di belakang, beberapa meter dari bangku
depan... tempat aku duduk.”
Jawaban terakhirku mendiamkan percakapan kita beberapa detik. Aku dan dia sibuk
berdialog dengan perasaan kami masing-masing. Jujur, pria ini memang manis. Aku
tertarik untuk memerhatikannya sejak beberapa hari yang lalu. Awalnya, aku
menganggap dia aneh. Penampilannya memang acak-acakan, padahal kalau ia mau
berdandan sedikit, ia pasti sudah dikejar-kejar wanita yang terkagum-kagum pada
sosoknya yang misterius namun kadang banyak omong. Berhubung ia duduk di bangku
paling belakang, perhatianku terhalang oleh jarak kita beberapa meter. Di
kelas, kami berjauhan, sungguh jauh, sampai tak saling mengenal. Makanya, tadi
kubilang juga apa, kalimat pertama adalah percakapan perdana kami. Harusnya
disertai dengan kembang api dan petasan lebaran, tapi, ah... tak perlu, pria
ini tidak spesial.
“Pernah berpikir tidak, datangnya hujan dari mana?” ia mulai berani mengawali
percakapan.
“Dari air mata yang enggan diturunkan, karena terlalu banyak jumlahnya, makanya
deras.” jawabku sekenanya.
“Ngasal saja!”
“Loh, emangnya salah?”
“Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, tergantung persepsi.”
“Lihatlah, kamu sibuk berfilosofi!”
“Itu pendapatku, Sera.”
Aku terdiam untuk beberapa detik. “Kamu tahu namaku?”
“Siapa yang tidak kenal orang seaktif kamu?”
“Tapi, aku tak mengenalmu.”
“Jelas saja, kauhanya mengenal yang ada dalam duniamu, dan aku adalah dunia
yang berbeda.”
Mendengar jawabannya yang agak sinis, aku memukul lembut bahunya. “Aku tak tahu
kalau pembicaraan kita bisa semenyenangkan ini.”
“Aku juga tak tahu, bisa melewati sore dengan hujan sederas ini, sedingin ini,
bersama seseorang yang menyenangkan seperti kamu.”
“Lihatlah, kaumelucu!”
“Kalau begitu, tertawalah, Sera.”
Bibirku terkunci, aku tidak tertawa. Ah, memang tak terlalu lucu, untuk apa aku
tertawa. “Banyak tugas, bagaimana aku bisa pulang?”
“Apa di otakmu hanya berisi tugas, tugas, dan tugas?”
“Otak punya kemampuan untuk menyaring hal yang penting, tugas termasuk hal
penting.”
“Banyak hal penting di dunia ini, tapi luput dari pandanganmu.”
Aku mengela napas berat. “Namamu sepertinya juga penting, bolehkah aku tahu?”
“Apalah arti sebuah nama, jika yang diingat banyak orang hanyalah tindakan yang
dilakukan, bukan nama yang melakukan?”
“Nama itu penting, kalau berkesan juga akan diingat. Makanya, aku tak ingat
namamu, karena kamu belum berkesan.”
“Aku belum berkesan?” tatapannya mendelik ke arahku.
Aku tak menjawab, saat pertanyaan itu selesai dia ucapkan. Aku juga tak
bergerak, ketika wajahnya tiba-tiba mendekati wajahku. Aku tidak mendorongnya
juga tak menghempaskan tubuhnya, ketika ia memegang lembut daguku kemudian
menciumku.
Tubuhku dan tubuhnya rapat sekali, sampai aku tak bisa membedakan sedang berada
di mana aku sekarang.
Deg.
Dunia nyata dan dunia mimpi seperti berebut tempat di otakku.
*Aku selalu datang paling pagi, mengincar bangku depan, aku tak ingin
ketinggalan pelajaran yang menggiurkan. Aku duduk sendirian, kelas masih sepi,
mungkin teman-temanku masih sibuk dalam dunia mimpi. Aku membuka buku
pelajaran, membolak-balik setiap halaman. Terlalu rajin.
Tatapanku menyentuh jendela. Mendung. Sayang sekali kalau sampai hujan, hujan
membuat setiap orang merasa ngantuk, berbeda situasi jika ada seseorang yang
dipeluk. Tapi, siapa yang mau berpelukan di tengah pelajaran? Aku yakin
teman-temanku masih waras, aku pun juga begitu.
Heran sudah jam segini, yang datang hanya segelitir orang, dihitung dengan
jaripun masih bisa. Kemana teman-temanku? Jadi, mendung tak tahan untuk
menangis, manja sekali. Hujan.
Kelas sepi, banyak yang datang terlambat. Pengajar sudah masuk yang lainnya
masih tergopoh-gopoh dengan baju yang kebasahan, kehujanan. Pria itu, yang
kutunggu-tunggu, juga datang terlmbat. Seperti biasanya, ia duduk di bangku
belakang.
Mata kami tadi sempat bertemu, hanya beberapa detik, lalu saling melepaskan.
Seakan-akan tak terjadi apa-apa kemarin sore. Seakan-akan tak ada peristiwa
penting yang terjadi saat hujan kemarin. Apakah semua pria seperti itu? Selalu
mudah lupa dan mudah menganggap segalanya tak penting?
Aku menghela napas, seharusnya dia memang tak penting, dan aku juga tak perlu
memikirkannya. Tapi, sejak peristiwa kemarin, entah mengapa dia tak berhenti
menghampiri otakku. Aku tak bisa melupakan tatapannya yang asing kala itu.
Betapa manisnya dia saat memberikan jaketnya untuk menghangatkan tubuhku.
Matanya, hidungnya, bibirnya, dan suara lembutnya berotasi dalam pikiranku.
Sialan! Keluhku kesal, dalam hati. Mengapa dia berbeda? Mengapa dia tak semanis
kemarin? Mengapa dia tak sehangat dan seramah saat bersamaku... saat kita hanya
berdua.
Pria yang kulihat saat ini, yang sedang diam-diam kuperhatikan, adalah pria
yang berbeda, bukan pria manis yang mengejutkanku dengan sentuhan bibirnya.
Sungguh berbeda, aku tak melihat sosok manis itu dalam dirinya saat ini.
Mengapa segalanya berubah dalam hitungan jam?
Aku jadi tak bersemangat memerhatikan pengajar, juga tak bersemangat mencatat.
Aku ingin jawaban dari semua rasa penasaranku. Pria itu... bahkan dia tak
menatapku. Dan, aku? Hey, aku menemukan diriku yang berbeda, kali ini aku
menyerongkan posisi dudukku, diam-diam menatap ke arah belakang, berharap wajah
itu setidaknya menatapku dengan tatapannya yang polos dan lugu seperti kemarin.
Sekarang, aku juga berbeda. Aku semakin heran karena perhatianku tiba-tiba
terenggut oleh sosok yang tak kukenal. Masih tentang pria itu, pria yang tak
kukenal namanya. Aku bahkan tak peduli pada detak jam dinding, juga waktu yang
bergulir cepat ketika aku menikmati wajahnya, memerhatikan belahan bibirnya
yang kemarin sore kurasakan.
Sungguh, dia sangat memabukkan.
Kali ini, pandanganku menjalar menyentuh rambutnya yang hitam. Tak terlalu rapi
memang, tapi bagiku potongan rambutnya membuat dia terlihat lebih tampan dan
sederhana. Rahangnya menambah kesan angkuh; angkuh yang eksklusif. Ya,
maksudku, dia nampak seperti pria yang sulit ditaklukan. Hidungnya yang tak
terlalu mancung memang menambah kesan menyenangkan ketika ia mendesahkan
napasnya pelan. Bibirnya, sudah kujelaskan, dan bisa merasakan bibirnya memang
hal yang sangat mendebarkan, seperti kemarin sore.
Keindahan apa lagi yang belum kujelaskan tentang dirinya? Lehernya yang jenjang
memang kadang ia sembunyikan. Dadanya yang bidang membuat semua wanita ingin
bersandar hangat dalam peluknya. Oh, Tuhan, mahluk macam apa yang Kauizinkan
untuk menggodaku kali ini?
Sudahlah, aku memutuskan untuk melepaskan pandanganku dari sosoknya. Toh, dia
makin cuek, dia juga tak mau menatapku. Dia sudah menjadi mahluk paling berbeda
meskipun baru puluhan jam yang lalu kami melewati waktu bersama.
Pengajar sudah meninggalkan kelas, aku merapikan bukuku di meja. Teman-temanku
yang lain sudah lebih dulu keluar, ingin segera pulang dan bermalas-malasan.
Udara dingin yang mencekam seperti ini memaksa mata selalu ingin terpejam, dan
tubuh selalu rindu kasur.
Kelas sudah sepi, aku sudah siap meninggalkan kelas. Aku berdiri dari bangku
yang kududuki, namun tubuhku terhempas lagi. Jemari yang tak begitu asing
meremas bahuku; hingga aku kembali terduduk.
“Buru-buru ya, Sera?” sergah pria itu santai, kali ini ia duduk di sampingku.
“Di luar hujan.”
“Oh, ya? Aku tidak peduli, aku ingin segera meninggalkan kelas ini.”
“Sera....”
“Apa?!”
“Kok sinis?”
“Mau yang manis? Romantis? Cih!”
“Lho, kamu marah?”
“Tidak.”
“Sungguh?”
“Bukan urusanmu! Sok misterius!”
“Kamu tidak tersenyum.”
“Aku hanya tersenyum pada orang yang menurutku penting.”
“Sejak peristiwa kemarin sore, aku belum juga jadi seseorang yang penting
bagimu?”
Aku terdiam.
“Sera, kok diam?”
“Aku tidak paham dengan perlakuanmu tadi, kamu diam, tidak menatapku, tidak
menyapaku, tidak melirik ke arahku... tidak sehangat kemarin.”
“Aku kira kamu marah.” jawab pria itu setengah berbisik, lengannya menyentuh
lenganku. “Ketahuilah, Sera. Kadang, pria memang tak perlu menunjukkan
perasaannya.”
“Semua pria gengsi. Gengsi gede-gedean!”
“Kamu berarti belum paham.”
“Apa yang harus kupahami? Aku sudah cukup lelah dengan pelajaran hari ini, aku
tak ingin memenuhi otakku lagi dengan pemahaman-pemahaman aneh.”
“Kamu lelah karena pelajaran?”
“Tentu saja.”
“Padahal, selama pelajaran, kamu sibuk menatapku.”
Deg. Bibirku terkunci. Kelu.
“Tatapanmu yang tajam, mendelik, namun menggoda itu bisa kurasakan, Sera.”
“Jadi, kamu juga memerhatikanku?”
Ia mengangguk pelan.
“Lalu, kenapa tidak balas menatapku?”
“Tatapan tak harus dibalas dengan tatapan.”
Pria bersorot mata hangat itu mendekat, ketika tubuhnya bergerak cepat, aku tak
bisa lagi mengelak.
Ia memelukku. Tak pernah aku merasa sehangat itu.
“Aku Ravinto. Mohon diingat. Pentingkan aku dalam ingatanmu.”
Aku mengangguk pelan. Sentuhannya tak pernah kuduga.
Dia berbeda.
Selasa, 24 September 2013
Cinta Bangku Belakang
Label:
Cerpen
0 komentar:
Posting Komentar